Oleh Danil Isnadi, S.H.I. Jabatan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Padangsidimpuan E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. |
Tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana sejarah, proses legislasi, penerapan, tantangan dan pembaharuan politik Hukum Islam dalam penerapan suatu hukum dalam bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penulisan Kuantitaf dengan mengumpulkan bahan-bahan yang bersumber dari buku-buku ataupun artikel yang berkaitan dengan Peraturan-peraturan tentang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia. Sejarah hukum bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya ditandai disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tentang Peraturan-peraturan Daerah yang bernuansa Islami atau lebih dikenal dengan Perda Syariah. Dalam Proses Legislasi Hukum Islam bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibdaha Lainnya telah banyak lahir Peraturan-Peraturan Daerah tentang Ibadah, Pakaian Muslim, Pendirian Masjid di Daerah-daerah khusus di Indonesia. Sejauh ini penerapan Peraturan-peraturan Daerah bernuansa Syariah tersebut masih berjalan dengan baik dan masih diterapkan disebagian daerah di Indonesia, ada sebanyak lebih kurang 22 Daerah yang telah mengeluarkan Perda-perda yang nuansa Syari’ah, hingga pertengahan 2013 menunjukkan bahwa jumlah perda syariah di Indonesia mencapai 422 buah. Namun tantangannya saat ini yang dihadapi banyak Peraturan-peraturan Daerah yang bernuansa Syariah di batalkan oleh pemerintah pusat dengan alasan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Hak Asasi Manusia kelompok minoritas, belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah perlu memperbaharui peraturan-peraturan Daerah tesebut, sehingga Peraturan-Peraturan Daerah yang bernuansa Syariah tetap terus diterapkan ditengah-tengah masyarakat dan semoga pembaharuan Perda-perda Syari’ah bisa dijadikan Undang-undang agar kekuatan hukumnya lebih mengikat.
Kata kunci : Politik, Hukum Islam, Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim.
- PENDAHULUAN
Hukum adalah produk politik, sehingga manakala membahas politik hukum cenderung mengedepankan pengaruh politik atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan dan perkembangan hukum. Hukum adalah hasil tarik-menarik sebagai kekuatan politik yang menjelma dalam produk hukum. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, hukum senantiasa hidup dan berkembang sejalan dengan dinamika perkembangan suatu masyarakat, baik dari sisi sosio-kultural maupun politik.(Halim, 2013, p. 261). Norma agama dapat dijadikan hukum jika disahkan untuk dijadikan Undang-Undang (UU) pada level nasional, Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (PERDA) pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota (Mulyati, 2019, p. 84).
Selain dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang secara nasional diberlakukan. Di beberapa daerah juga muncul sebagai respon terhadap dinamika masyarakat dan kebutuhannya, sehingga muncul berbagai bentuk peraturan daerah yang bernuansa Syari’ah. Adanya Peraturan Daerah yang bernuansa Syari’ah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, justru malah memberikan penguatan tentang pentingnya menjaga moralitas masyarakat. Bahwa terdapat ajaran Islam yang menjadi substansi dari Perda-Perda tersebut adalah bagian dari transformasi dari ajaran kemaslahatan ke dalam sistem hukum nasional berupa hukum positif (Julijanto, 2014, p. 681). Gagasan tentang pemberlakuan syariat Islam telah ada di Indonesia. Syariat Islam sebagai bagian dari tuntutan masyarakat Islam secara resmi dibicarakan dan diputuskan melalui piagam Jakarta (Jakarta Charter) (Gunawan, 2020, p. 64). Dalam Piagam Jakarta Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- meluknya (Rosman, 2016, p. 35).
Salah satu hasil produk politik yang terkait hukum di daerah adalah munculnya Peraturan Daerah (Perda). Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) sangat bersinggungan dengan kepentingan daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah (Perda) kini cukup menjadi isu untuk ditelaah adalah Peraturan Daerah (Perda) yang mengacu dan bernuansa pada Syariah dan sudah diundangkan diberbagai daerah. Setidaknya terdapat 22 daerah yang mengimplemantasikan perda yang mengatur persoalan moralitas dan implementasi syariah Islam di semua bidang kehidupan.(Habibi, 2016, p. 82)
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia. Tidak sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan (Habibi, 2016, p. 85).
Kehadiran Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa pada Syariat Islam seperti Peraturan Daerah (Perda) anti maksiat, pelaksanaan Ibadah, Pendirian Masjid, baca tulis Al-qur’an bagi calon pengantin, Pakaian Muslim dan lain-lain. Peraturan Daerah (Perda) tersebut tidak saja menarik dicermati karena adanya pro dan kontra, tetapi juga pergulatan ide dari pimpinan daerah yang ada di balik Perda-Perda tersebut. Peraturan Daerah (Perda) sebagai produk dari kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses politik yang dapat dilatarbelakangi oleh berbagai macam idealisasi politik yang dianut oleh para pembuat kebijakan. Dalam kaidah kebijakan, sebuah produk kebijakan publik termasuk di dalamnya Perda-Perda di atas lazimnya ditujukan untuk mengatur kepentingan umum yang didalamnya terdapat banyak nilai-nilai tidak saja kolektif tetapi juga individual yang harus dipertimbangkan sebagai norma dasar kehidupan bersama. Dilihat dari kemunculan berbagai Perda bernuansa Syariah Islam tersebut, nuansa yang berkembang hampir sama, yakni nafas melindungi kepentingan publik yang bernama moralitas kolektif dengan menggunakan pelaksanaan syariat Islam sebagai instrument operasionalnya (Habibi, 2016, p. 83).
Dengan demikian penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana politik hukum Islam dalam penerapan hukum dalam bidang kewarisan Islam di Indonesia. Mulai dari sejarah, proses legislasi, penerapannya, tantangan dan pembaruannya.
- PEMBAHASAN
- Sejarah Penerapan Hukum Bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia bisa dilihat dari peluang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia sangat terbuka, karena pada dasarnya hukum Islam tidak akan berbenturan dengan hukum positif yang berlaku saat ini. Namun memperjuangkan hukum Islam dalam kehidupan bernegara memerlukan tindakan nyata (seperti penyusunan RUU) yang konsisten dengan prinsip pembangunan hukum nasional. Sebagaimana ungkapan menjadikan perjuangan hukum Islam sebatas janji tanpa bukti hanya akan melahirkan kesan politisasi (hukum) Islam. Perbedaan mendasar antara hukum positif dengan hukum Islam adalah hukum positif merupakan pernyataan kehendak manusia yang terhimpun dalam wadah bernama negara, sedangkan hukum Islam merupakan hukum ketuhanan. Hubungannya dengan hukum Islam secara khusus tidak dapat dipungkiri bahwa penduduk Indonesia mayoritas memeluk agama Islam (Munir, 2014, p. 153).
Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku serta dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan. Adapun tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu, dapat menjadi bahan telaah penting di masa yang akan datang. Pengaruh itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah upaya yang sungguh-sungguh secara bertahap (tadarruj), sehingga norma-norma syari’at Islam dapat mewarnai perundang-undangan di Indonesia, karena hukum Islam merupakan salah satu dasar pembentukan hukum positif.(Suganda, 2019, p. 2)
Sebagai pelaksana Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dibidang ketatanegaraan pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Adapun Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum (Sari, 2018, p. 73).
Sejarah terbentuknya Peraturan-peraturan Daerah yang bernuansa Sya’riah tidak terlepas dari di undangkannya Undang-undang terkait otonomi daerah. Pasca Reformasi diberlakukannya Undang-Undang terkait otonomi daerah yakni Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka beberapa daerah diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya. Salah satu Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat oleh beberapa daerah adalah Peraturan Daerah (Perda) syari’ah, yakni Peraturan Daerah (Perda) yang khusus mengatur sisi kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Pada beberapa produk perda bermuatan syari’ah (Habibi, 2016, p. 87) (Efrinaldi, 2014, p. 126).
Berikut dapat dijelaskan sejarah lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yang mana pemerintah daerah dalam mengatur daerahnya sendiri, sebagai berikut:
- Periode Pertama (1945-1948)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Daerah, yang merupakan langkah pertama menerapkan demokrasi di daerah. Sayangnya Undang-Undang ini terlalu singkat bunyinya karena hanya mengatur kedudukan Komite Nasional Daerah (KND) sebagai penjabaran Komite Nasional Indonesia yang merupakan badan legislatif darurat. Kemudian selanjutnya di daerah Komite Nasional Daerah berganti nama menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD).
- Periode Ke-Dua (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini merupakan penghapusan antara cara pemerintahan di Jawa dan Madura (unformitas). Undang-Undang ini diumumkan 1 tahun sesudah Aksi Militer I (1947) dan 6 bulan sesudah Undang-Undang ini diumumkan, Tentara Belanda melanjutkan Aksi Militer II (1948), sehingga Undang-Undang ini tidak sempat dijalankan sacara sempurna.
- Periode Ke-Tiga (1957-1965)
Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur (NIT) ini hanya bersifat separatis, hal ini adalah akibat berlakunya Konstitusi RIS di mana Negara Republik Indonesia berbentuk Serikat Untunglah kemudian Undang-Undang ini tidak sempat diterapkan karena disusul dengan pembentukan Negara Kesatuan Republik Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur (NIT) ini hanya bersifat separatis, hal ini adalah akibat berlakunya Konstitusi RIS di mana Negara Republik Indonesia berbentuk Serikat Untunglah kemudian Undang-Undang ini tidak sempat diterapkan karena disusul dengan pembentukan Negara Kesatuan Republik.
- Periode Ke-Empat (1965-1974)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini sebagai usaha untuk uniformitas dalam menyatukan Undang-Undang tentang pokok-pokok Otonomi Daerah bagi seluruh Indonesia. Dimana Undang-Undang ini yang akan menggantikan seluruh perundang-undangan tentang pokok-pokok Otonomi Daerah yang beraneka warna. Dalam Undang-Undang ini pula kita temui istilah Swatantra (daerah otonomi/istimewa)
- Periode Ke-Lima (1974-1999)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menggantikan UndangUndang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan, menurut Undang-Undang ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonomi sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan wilayah administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
- Periode Ke-Enam (1999-2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Menurut Undang-Undang ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakartadan satu tingkat wilayah administratif.
- Periode Ke-Tujuh (mulai 2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonomi dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi Republik VI Pasal 18, 18A, dan 18B.
Lengsernya orde baru membuka celah demokratisasi di Indonesia. Isu demokratisasi merupakan sesuatu yang strategis dan fungsional untuk menjawab berbagai persoalan bangsa. Demokratisasi adalah harapan bagi mereka yang menolak penggunaan negara demi kepentingan agama, sekaligus juga memberikan tempat untuk agama. Mekanisme politik yang demokratis sejatinya memberikan keuntungan tersendiri bagi umat islam yang mayoritas di negeri ini. Sebab, mekanisme politik yang demokratis akan menempatkan masing-masing kelompok secara proporsional dan juga legitimate. Selain itu, isu demoktratisasi ini juga memberi angin segar kepada daerah melalui desentralisasi atau otonami daerah. Dengan otonomi, daerah diberi keleluasan untuk mengatur dirinya sendiri sesuai kemampuan dan aspirasi tiap-tiap daerah. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan sandaran yang konstitusional kepada daerah untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya. Dengan adanya kewenangan yang luas inilah maka marak adanya tuntutan untuk memberlakukan syari’at Islam di Indonesia (Hanum, 2017, p. 48).
Tidak ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan Perda-perda yang bernuansa syariat itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya Perda syari’ah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999-2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya syari’at Islam di Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus Nangro Aceh Darussalam. Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring menguatnya dorongan atas pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal 1999. Ditahun-tahun tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana pemerintahan daerah seperti burung yang mendapati kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, pemerintah lokal tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga melengkapi birokrasinya dengan berbagai produk Peraturan Daerah (Deni Syaputra, 2022, p. 265).
Lahirnya Perda-perda bermuatan syariah tersebut merupakan efek tak terhindarkan dari program desentralisasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah pasca jatuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Program desentralisasi tersebut memberi ruang yang lebih bagi Pemerintah Daerah untuk menelurkan Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan lokal lainnya, termasuk perda yang bernuansa Islam. (Dani Muhtada, 2014, p. 2).
Dari beberapa pilihan strategis, antara lain melalui gerakan individu, gerakan sosial dan pendidikan, gerakan sosial politik, gerakan legislasi, dan gerakan konstitusi dalam konstitusi, yang dapat dilakukan dalam pemberlakuan hukum Islam, maka gerakan legislasi melalui pemberlakuan peraturan daerah yang berlandaskan syariah (hukum agama), yang dalam konteks ini adalah hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perda Syariah (Bik, 2013, p. 285).
- Proses Legislasi Hukum Islam Dalam Bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia
Dalam sistim legislasi hukum positif, pembentukan peraturan perundang-udangan harus mencerminkan kesejahteraan umum sebab kesejahteraan masyarakat itu menjadi tujuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Perda) dengan tetap memelihara pelaksanaan keadilan dan kepastian hukum. Secara khusus, pembentukan peraturan daerah dapat dinilai baik apabila perda tersebut dapat memberikan manfaat atau kesejahteraan yang besar bagi masyarakat. Prinsip tersebut sesuai dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yakni kewenangan pembentukan perda untuk memberikan keleluasaan dalam kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah serta mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat (Patittingi et al., 2021, p. 31).
Upaya pembuatan Perda syariat khususnya di daerah mayoritas muslim berawal dari kegagalan upaya pelaksanaan syariat pada level nasional yang menghadapi berbagai hambatan struktural. Ada dua cara formal untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia, melalui amandemen konstitusi dan legislasi. Cara yang pertama diakui lebih sulit mencapainya, sebagaimana pengalaman upaya memasukkan kembali "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta ke dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 selalu mendapat perlawanan kuat. Oleh karena itu, upaya pelaksanaan syariat melalui proses di legislatif dalam bentuk Peraturan Daerah lebih mudah dilakukan. Upaya tersebut menunjukkan adanya perubahan strategi upaya pelaksanaan syariat di Indonesia, dari proses top-down melalui Islamisasi konstitusi diubah dengan proses buttom-up melalui pembuatan Perda Syariat pada level daerah (Suryani, 2014, p. 171).
Prosedur penyusunan peraturan daerah merupakan rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Pembentukan peraturan daerah adalah proses pembuatan peraturan daerah yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan .
Dalam mempersiapkan pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah harus berpedoman kepada pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan daerah akan lebih operasional jika dalam pembentukannya tidak hanya terikat pada asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136-147 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap subjek dan objek hukum yang hendak diaturnya, serta diawali dengan pembentukan naskah akademik terlebih dahulu.
Pemerintah berwenang untuk untuk melakukan pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah (Perda), hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam rangka pengawasan represif, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk Provinsi, dan kepada Gubernur untuk Kabupaten/Kota, selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah diundangkan. Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah jika bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/ atau peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk Pembatalan tersebut, Pemerintah dapat melimpahkan kewenangan pembatalan untuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah harus diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Selambat-lambatnya satu bulan setelah keputusan pembatalan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, DPRD bersama Kepala Daerah membatalkan pelaksanaan Peraturan Daerah, Kepala Dearah membatalkan pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah. Oleh sebab itu pada saat ini banyak Peraturan Daerah yang bermuatan Syari’ah banyak yang dibatalkan oleh pemerintah pusat.
Materi muatan peraturan daerah tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (3) UUNo. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.35seperti halnya: 1) Politik Luar Negeri 2) Pertahanan 3) Keamanan 4) Yustisi 5) Moneter dan Fiskal Nasional 6) Agama. Adapun Materi muatan Peraturan Daerah (Perda) dapat mengandung asas meliputi: a) Pengayoman b) Kemanusian c) Kebangsaan d) Kekeluargaan e) Kenusantaraan f) Bhineka Tunggal Ika g) Keadilan h) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i) Ketertiban dan kepastian hukum, dan atau j) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Maka diharapkan Peraturan Daerah (Perda) yang dihasilkan mampu memberikan makna bagi masyarakat, terutama dalam mengakomodir kearifan lokal dan pembuatan peraturan daerah yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut juga untuk menghindari adanya peraturan daerah yang bermasalah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum (Herawati, 2017, p. 55).
Pada tahun 1999 jumlah Peraturan Daerah (Perda) bermuatan syari’ah di seluruh Indonesia hanya ada empat, yang tersebar di empat kabupaten dan kota. Jumlah ini meningkat tajam dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pada tahun 2013 jumlah Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 400 buah. Data yang saya kumpulkan hingga pertengahan 2013 menunjukkan bahwa jumlah perda syariah di Indonesia mencapai 422 buah. Dari jumlah termasuk, sebanyak 358 peraturan lahir dalam bentuk “Peraturan Daerah” (yaitu peraturan lokal dikeluarkan atas persetujuan bersama antara eksekutif dan legislative daerah) dan 64 peraturan lahir dalam bentuk non-Perda, yang meliputi: Peraturan Kepala Daerah (Perbup/Perwali), Instruksi Kepala Daerah, atau Surat Edaran Kepala Daerah Ditinjau dari kategorisasi Peraturan Daerah (Perda) Syariah, dari 422 perda tersebut, sebanyak 170 (40%) perda berisi tentang moralitas, 62 (15%) perda mengatur soal zakat, 59 (14%) perda terkait dengan keimanan Islam, 39 (9%) perda terkait dengan keuangan Islam, 27 (6%) perda terkait dengan pendidikan Islam, 25 (6%) perda terkait dengan busana Muslim, serta 40 (10%) perda terkait dengan aturan-aturan di luar keenam hal di atas. Perda-perda tersebut tersebar di 174 kabupaten dan kota di 29 provinsi di Indonesia. Dari 29 provinsi tersebut, ada enam provinsi yang dapat dianggap sebagai “daerah perda syariah” di Indonesia. Keenam daerah perda syariah tersebut memproduksi sekitar 62% dari total perda syariah di seluruh Indonesia. Keenam provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah perda syariah terbanyak di Indonesia dengan 86 perda syariah. Sumatra Barat berada di urutan kedua dengan 54 perda syariah. Urutan ketiga ditempati oleh Kalimantan Selatan dengan 38 perda syariah. Disusul oleh Jawa Timur dengan 32 perda syariah serta Aceh dan Sulawesi Selatan, masing-masing 25 perda syariah (Dani Muhtada, 2014, p. 3).
- Penerapan Hukum Islam Dalam Bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia
Penerapan hukum Islam dalam bentuk Peraturan Daerah bermuatan Syariah di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar, antara lain dengan jumlah masyarakat Islam di Indonesia dengan jumlah yang banyak. Pembicaraan tentang hukum Islam dalam tradisi masyarakat pemeluknya (Ishak, 2017, p. 65).
Sejauh ini perda bernuansa syariat Islam memang telah terbit di berbagai daerah. Misalnya di Pemerintah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA I/2001, lahirlah Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Salah satu wujud pemberlakuan Surat Keputusan tersebut, aparatur Gerbang Marhamah dibantu masyarakat memberlakukan secara ketat pemakaian jilbab. Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah yang menerapkan Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan misalnya, diberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras serta Zakat, Infak, dan Sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran (Asmuni Mth, 2006, p. 181).
Penerapan Peraturan Daerah bernuansa syariah juga telah di terapkan dikota Padangsidimpuan. Ada beberapa peraturan daerah yang memiliki kontribusi hukum Islam, seperti Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2006 Tentang Pemakaian Busana Muslim Dan Muslimah, dan Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2005 Tentang Larangan Penjualan dan Pengedaran Minuman Keras di Daerah Kota Padangsidimpuan (Sari, 2018, pp. 74–76).
Penerapan Peraturan Daerah juga telah banyak di terapkan di Provinsi Sumatera Barat. Di antara Peraturan Daerah (Perda) Syariah yang ditetapkan di Provinsi Sumatera Barat adalah (Gugun El Guyanie dan Moh Tamtowi, 2021, pp. 10–12):
- Kabupaten Tanah Datar: Surat Himbauan Bupati Tanah Datar Nomor 4/556/Kesra-2001 Perihal Himbauan/ Berbusana Muslim/ Muslimah Kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja;
- Provinsi Sumatera Barat: Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat;
- Kabupaten Solok: Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 10 Thaun 2001 tentang Wajib Baca Al-Qur’an untuk Siswa dan Pengantin;
- Kota Solok: Peraturan Daerah kota Solok Nomor 6 Tahun 2002 Tentang Wajib Berbusana Muslimah;
- Kota Padang: Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an;
- Kota Padang: Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2003 tentang Kewajiban Membaca Al-Quran di Padang;
- Kabupaten Solok: Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh;
- Kota Bukittinggi: Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas peraturan daerah Kota Bukuttinggi Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Penertiban dan Penindakan Penyakit Masyarakat;
- Kota Sawahlunto: Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an;
- Kabupaten Sijunjung: Peraturan Daerah Kabupaten Sijunjung Nomor 2 Tahun 2003 tentang berpakaian Muslim dan Muslimah;
- Kabupaten Pasaman: Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an;
- Kabupaten Pasaman: Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi bagi para siswa, Mahasiswa dan Karyawan;
- Kabupaten Pesisir Selatan: Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sahadaqoh;
- Kabupaten Limapuluh Kota: Peraturan Daerah Kabupaten Limapuluh Kota No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an;
- Kabupaten Padang Pariaman: Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat;
- Kota Padang Panjang: Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat;
- Kota Bukittinggi: Perda Kota Bukittinggi Nomor 29 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh;
- Kabupaten Pesisir Selatan: Perda Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8 Tahun 2004 tentang Pandai Baca Tilis Al-Qur’an;
- Kabupaten Pesisir Selatan: Perda Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah;
- Kabupaten Agam: Perda Kabupaten Agam Nomor 6 Tahun 2005 Tentang berpakaian Muslim;
- Kabupaten Agam: Perda Kabupaten Agam Nomor 5/2005 tentang Pandai baca Tulis Al-Qur’an;
- Provinsi Sumatra Barat: Perda Provinsi Sumatra Barat Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran;
- Provinsi Sumatra Barat: Surat Himbauan Gubernur Sumatera Barat Nomor 260/421/X/PPr-05 Perihal-perihal : Menghimbau Bersikap dan Memakai Busana Muslimah Kepada Kepala Dinas/Badan/Kantor/Biro/Instansi/Walikota sumatera Barat;
- Kota Padang: Instruksi Walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 Tentang Pelaksanaan Wirid Remaja didikan subuh dan Anti Togel / Narkoba serta Berpakaian Muslim / Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di Kota Padang;
- Kota Padang: Instruksi Walikota Padang pada tanggal 7 Maret 2005 tentang Pemakaian Busana Muslimah;
- Kota Sawahlunto: Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Maksiat;
- Kota Padang Panjang: Perda Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 2008 tentang Zakat;
Jenis-jenis Peraturan Daerah (Perda) bermuatan syari’at yang telah diproduk dan telah diterapkan di beberapa pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari empat klasifikasi yakni (Efrinaldi, 2014, p. 128):
- Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum, anti pelacuran dan perzinaan,
Seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 08 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Peraturan Daerah (Perda) Kota Paraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2005 Tentang Larangan Penjualan dan Pengedaran Minuman Keras Di Daerah Kota Padangsidimpuan. Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 20 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Daerah Kota Solok Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun 2006 dan Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004.
- Peraturan Daerah yang terkait dengan fashion dan mode pakaian, keharusan memakai jilbab dan jenis pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu;
Seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 05 tahun 2003 tentang Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah, Peraturan Daerah Kota Padangsidimpuan Nomor 06 Tahun 2006 Tentang Pemakaian Busana Muslim dan Muslimah. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003. Peraturan Daerah Kabapaten Sawahlunto/ Sijunjung Nomor 2 Tahun 2003. Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun 2005.
- Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan keterampilan beragama, keharusan pandai baca-tulis Alquran,
Seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 07 tahun 2003 tentang Bebas Buta Aksara Al-Qur’an pada Pendidikan Tingkat Dasar dalam Wilayah Kabupaten Gowa. Peraturan Daerah Kabupaten 50 Kota Nomor 6 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung Nomor 1 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 6 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 21 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2005. Selain itu ada juga Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2005 tentang pandai baca tulis Alquran dan instruksi Walikota Padang Nomor 451 422/ Binsos. III/2005 tentang pelaksanaan wirid remaja, didikan subuh, dan anti togel/ narkoba serta berpakaian muslim/ muslimah bagi murid/ siswa SD/ MI/ SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA di Kota Padang.
- Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah);
Seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi nomor 29 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Peraturan Daerah Kota Solok Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 31 Tahun 2003, Peraturan Daerah Kabupaten 50 Kota Nomor 26 Tahun 2003 dan Peraturan Daerah Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 20008.
- Tantangan Hukum Islam Dalam Bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia
Belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Selain itu, perda bernuansa syariat Islam juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam diasumsikan suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut. Aksi ke-56 anggota DPR itu direspons oleh sejumlah anggota DPR lainnya. Sebanyak 134 anggota DPR yang menentang pembatalan peraturan daerah bernuansa syariat Islam mendatangi pimpinan DPR. Mereka mengirim surat yang isinya kontramemorandum atas usulan 56 anggota DPR lainnya yang meminta agar perda tersebut dibatalkan. Menurut mereka adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa (Asmuni Mth, 2006, pp. 180–181).
Menurut pakar hukum perundang-undangan Universitas Indonesia, Maria Farida, kewenangan menentukan aturan yang berkaitan dengan agama merupakan kewenangan mutlak pemerintah pusat untuk memutuskannya. Otonomi daerah seharusnya tetap berjalan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika imbas pelaksanaan otonomi daerah memunculkan ancaman baru terhadap NKRI, sudah selayaknya pemerintah pusat turun tangan mencegahnya. Dalam Pasal 1 angka 10 dan 11 Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa segala sesuatunya harus dalam kerangka NKRI berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Karena sampai saat ini belum ada peraturan perundangan yang mengijinkan diterapkannya syariat Islam, kecuali di Aceh (Habibi, 2016, p. 88).
Dari uraian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa daerah dengan otonomi daerah yang dimilikinya dapat membuat pengaturan dalam berbagai urusan pemerintahan kecuali urusan yang telah menjadi urusan pemerintah pusat termasuk khususnya dalam tulisan ini dalam bidang agama. Ini artinya dalam bidang ajaran-ajaran agama, pengaturan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran-ajaran agama tersebut menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat (berdasarkan kedua undang-undang pemerintahan di atas) baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian daerah tidak diperkenankan mengatur sesuatu masalah yang menyangkut masalah ajaran agama (khususnya syariat Islam yang menjadi topik pembahasan tulisan ini), karena bukan menjadi bagian dari kewenangannya dalam label otonomi daerah. Dalam hal ini lebih menitik beratkan pada prinsip penegakan Hak Azazi Manusia (Ikrom, 2019, p. 28).
Dalam masyarakat terdapat juga pro dan kontra terkait penerapan Peraturan Daerah bernuansa Syariah ini. Munculnya perda-perda yang mengatur persoalan moralitas dan syariah ini atau perda yang mengatasnamakan moralitas direspon secara beragam, tidak saja oleh daerah lain, tetapi juga oleh masyarakat di daerah bersangktrtan. Setidaknya terdapat 3 kategori respon masyarakat dalam mensikapi lahirnya perda bernuansa syariah ini. Kelompok pertama, mereka yang menolak implementasi perda syariah dengan berbagai argumentasi yang diungkapkan, mulai dan ketidakjelasan landasan yuridis, karakter masyarakat, pluralitas dan konteks kenegaraan kita. Kelompok kedua adalah kelompok yang menekankan perda bernuansa syariah sebagai keniscayaan. Kelompok ini mendasarkan argumen asinya pada beberapa hal, (1) Anomaly moralitas masyarakat; (2) Hubungan korelasional antara penguasaan Al Quran dengan ketaqwaan; (3) Karena perempuan dinilai sebagai penegak moral, maka sasaran utama berbagai perda di atas adalah perempuan, seakan menjadikan anomaly moral dan kemaksiatan sama dengan tubuh perempuan. Kelompok ketiga adalah mereka yang tidak memberikan respon, entah karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau memang merasa percuma membahas hal-hal seperti itu. Ketidakacuhan merupakan sikap yang banyak ditemukan di masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang berubah atau transisi, ketidakacuhan masyarakat seringkali dimanfaatkan secara politis oleh elit politik. Dalam banyak hal, praktik hukum sehari-hari di masyarakat yang mengalamt perubahan, umumnya selalu dibentuk oleh elit politik yang pragmatis dan mayoritas masyarakat basis yang tidak bersuara yang juga pragmatis (Suharso, 2006, pp. 233–234).
Analisis sementara mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengatur hal bidang urusan agama, mengapa pemerintah pusat tidak mendesentralisasikan bidang urusan agama adalah apabila urusan agama di desentralisasikan maka akan timbul penafsiran-penafsiran yang bermacam-macam dan yang lebih mengkhawatirkan adalah setiap daerah dapat menerbitkan Perda-perda yang berbasis agama yang seperti terjadi di Papua yang telah menerbitkan Perda Injil hal ini nantinya dikhawatirkan akan memicu konflik antar pemeluk agama lain. Padahal negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum nasional bukan pada suatu agama tertentu.
Studi ini menemukan adanya kesulitan dalam penerapan Syariat Islam di Indonesia. Penyebabnya bukan hanya karena ada penolakan dari sebagian masyarakat, tapi juga di internal umat Islam sendiri mengalami keterbelahan aspirasi (Ma’mun Murod Al-Barbasy, 2017, p. 25). Untuk mengetahui sebuah perda sudah efektif atau belum maka dapat diukur dengan sebuah parameter yaitu apakah hasil yang diinginkan sudah sesuai dengan sasaran dan tujuan. Jika sebuah perda tidak bisa mencapai tujuan dan sasaran pembuatannya maka perda tersebut dapat dikatakan gagal atau tidak berhasil dan harus ditindak lanjuti (Nuryani & Al-hamdi, 2020, p. 1032).
- Pembaruan Hukum Islam Dalam Bidang Ibadah, Pendirian Masjid, Pakaian Muslim dan Pelaksanaan Ibadah Lainnya di Indonesia
Pengembangan hukum Islam secara materil khususnya di Indonesia, sangat dibutuhkan untuk dijadikan sebagai legitimasi dalam berusaha dan bertindak. Sementara pengembangan secara kelembagaan dibutuhkan untuk lebih memperkokoh kedudukan hukum Islam itu sendiri dalam kaitannya dengan pengembangan hukum Nasional Meskipun disepakati bahwa hukum Islam masih memiliki arti besar dan penting bagi kehidupan bangsa Indonesia (umat Islam Indonesia), namun tidak berarti bahwa secara internal hukum Islam tidak memiliki masalah. Sebagai contoh masih adanya pendapat yang muncul bahwa hukum Islam dewasa ini mengalami proses kebekuan, masih belum dinamis bahkan masih berada pada dataran mempertahankan identitas ke-Islaman dari pengaruh-pengaruh yang bersifat non-Islam yang sekuler (Syamsuddin, 2015, p. 2).
Peraturan daerah bermuatan syari’ah pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena dari perspektif demokrasi, perda yang ada sudah disusun secara konstitusional. Dari segi kewenangan pembuatan, perda merupakan kewenangan pemerintah daerah dan merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif daerah, selanjutnya perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa ke arah kebaikan dan mendukung program pemerintah pusat. Tapi bagaimana jika dari aspek materi- muatan yang diatur di dalam perda syari’ah tersebut ada yang dianggap overlap atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya serta tindakan hukum apa yang dapat ditempuh. Perda syariat yang menyulut kontroversi tersebut tentu menjadi wacana yang sangat menarik untuk dicermati. Bukan saja karena pro-kontra yang menyertainya,terutama mengenai sejauh mana hukum dan sistem hukum dapat didesentralisasikan, tetapi juga sejauh mana signifikansi perda syariat bila ditinjau dari perspektif disiplin ilmu fikih. Namun terlebih dahulu akan dipaparkan potret sejarah perjuangan penerapan syariat Islam di Indonesia (Asmuni Mth, 2006, p. 181).
Pada era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita. Desain Perda Syariah sendiri hanya mengatur masyarakat, namun tidak mengatur pemimpin. Banyak diantara Perda Syariah tidak menyinggung masalah akhlak pemimpin daerah sehingga Perda Syariah sendiri hanya menjadi alat kepala daerah mengontrol rakyatnya saja (Jati, 2013, p. 317).
- PENUTUP
Lahirnya Perda-perda bermuatan syariah tersebut merupakan efek tak terhindarkan dari program desentralisasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah pasca jatuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Program desentralisasi tersebut memberi ruang yang lebih bagi Pemerintah Daerah untuk menelurkan Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan lokal lainnya, termasuk perda yang bernuansa Islam.
Di Indonesia ada sebanyak lebih kurang 22 Daerah yang telah mengeluarkan Perda-perda yang nuansa Syari’ah. Pada tahun 2013 jumlah Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 400 buah. Data yang saya kumpulkan hingga pertengahan 2013 menunjukkan bahwa jumlah perda syariah di Indonesia mencapai 422 buah. Dari jumlah termasuk, sebanyak 358 peraturan lahir dalam bentuk “Peraturan Daerah” (yaitu peraturan lokal dikeluarkan atas persetujuan bersama antara eksekutif dan legislative daerah) dan 64 peraturan lahir dalam bentuk non-Perda, yang meliputi: Peraturan Kepala Daerah (Perbup/Perwali), Instruksi Kepala Daerah, atau Surat Edaran Kepala Daerah Ditinjau dari kategorisasi Peraturan Daerah (Perda) Syariah.
Belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Selain itu, perda bernuansa syariat Islam juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam diasumsikan suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.
Pada era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita. Desain Perda Syariah sendiri hanya mengatur masyarakat, namun tidak mengatur pemimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni Mth. (2006). MENIMBANG SIGNIFIKANSI PERDA SYARIAT ISLAM ( Sebuah Tinjauan Perspektif Fikih ). Al-Mawarid, XVI(1), 180–190.
Bik, A. (2013). Peraturan Daerah Syariah dalam Bingkai Otonomi Daerah. Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, 3(2), 279–298. https://doi.org/10.15642/ad.2013.3.2.279-298
Dani Muhtada. (2014). Perda Syariah di Indonesia: Penyebaran, Problem dan Tantangannya. Sharia Bylaw in Indonesia: The Spread, Problems and …, 1(1), 1–11. https://www.academia.edu/download/37185422/Orasi_Dies_Natalis.pdf
Deni Syaputra. (2022). PIAGAM JAKARTA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERDA-PERDA BERNUANSA SYARI’AH. Ensiklopedia of Journal, 4(2), 261–266.
Efrinaldi. (2014). Perda Syariah Dalam Perspektif Politik Islam Dan Religiusitas Umat Di Indonesia. Madania, XVIII(2), 119–129. https://www.mendeley.com/viewer/?fileId=77e9760a-fe5b-e093-500a-8e101a3915db&documentId=c5017f34-269e-3bbe-847b-85fb7e5b473b
Gugun El Guyanie dan Moh Tamtowi. (2021). Politik Legislasi Perda Syari’ah di Sumatera Barat. Jurnal Hukum Kenegaraan Dan Politik Islam, 1(1), 1–17.
Gunawan, S. (2020). Sejarah Transpormasi Syariat Islam Kedalam Hukum Nasional. Jurnal El-Qanuniy: Jurnal Ilmu-Ilmu Kesyariahan Dan Pranata Sosial, 6(1), 55–67. https://doi.org/10.24952/el-qanuniy.v6i1.2502
Habibi. (2016). MENINJAU PERKEMBANGAN PERDA SYARIAH DI INDONESIA. El-Qanuniy, 2(1), 82–94.
Halim, A. (2013). Membangun Teori Politik Hukum Islam di Indonesia. AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 13(2), 259–270. https://doi.org/10.15408/ajis.v13i2.938
Hanum, C. (2017). Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia. Jurnal Gama Dan Hak Asasi Manusia, 7(1), 41–63.
Herawati, A. (2017). PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Belanda, Jepang, dan Indonesia Merdeka sampai sekarang). Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 3(1), 49–58. https://journal-uim-makassar.ac.id/index.php/ASH/article/view/183
Ikrom, M. (2019). Syariat Islam Dalam Perspektif Gender Dan Ham. Humanika, 18(1), 16–30. https://doi.org/10.21831/hum.v18i1.23126
Ishak, A. (2017). Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, 4(1), 57–70.
Jati, W. R. (2013). PERMASALAHAN IMPLEMENTASI PERDA SYARIAH DALAM OTONOMI DAERAH. Al Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam, VII(2), 305–318.
Julijanto, M. (2014). IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme. Jurnal Internasional, V(2), 666–685. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/05/09/m3qcqk-2030-
Ma’mun Murod Al-Barbasy. (2017). Politik Perda Syariah (Dialektika Islam dan Pancasila Di Indonesia (I). Suara Muhamadiyah.
Mulyati, M. (2019). Kontribusi Mui Dalam Pengembangan Dan Penerapan Hukum Islam Di Indonesia. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial, 7(01), 83. https://doi.org/10.30868/am.v7i01.547
Munir, S. (2014). PENGARUH HUKUM ISLAM TERHADAP POLITIK HUKUM INDONESIA. Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 13(2), 127–155.
Nuryani, N. A., & Al-hamdi, R. (2020). Evaluasi Perda Syariah Di Indonesia : Studi Kasus Perda No . 5 / 2006 Tentang Minuman Beralkohol Di Kota Banjarbaru , Kalimantan Selatan. 2020(5), 1023–1036.
Patittingi, F., Irwansyah, I., Hasrul, M., Arisaputra, M. I., & Yunus, A. (2021). Relasi Negara Dan Agama Dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah: Perspektif Pancasila. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 01(01), 17–33. https://doi.org/10.52738/pjk.v1i1.1
Rosman, E. (2016). LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Sejarah Dan Relevansi Praktis Pembaharuan Hukum Nasional). ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam, 1(1), 27–44. http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/article/view/478
Sari, R. (2018). KONTRIBUSI HUKUM ISLAM DALAM PERATURAN DAERAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN (Issue 1).
Suganda, A. (2019). Implementasi Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Politik Hukum Indonesia. Jurnal At-Tadbir : Media Hukum Dan Pendidikan, 29(2), 1–20. https://doi.org/10.52030/attadbir.v29i02.11
Suharso, P. (2006). Pro Kontra Implementasi Perda Syariah (Tinjauan Elemen Masyarakat). Al-Mawarid, 16(1), 229–235. https://doi.org/10.20885/almawarid.vol16.art4
Suryani, I. (2014). Legislasi Syari’at Islam Melalui Perda Syari’ah. Juris, 13(2), 165–174.
Syamsuddin, D. (2015). Transformasi Hukum di Indonesia. Al-Qadau, 2(1), 1–14.