![]() |
Oleh Danil Isnadi, S.H.I. Jabatan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Padangsidimpuan E-mail : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. |
Social change is a necessity that cannot be denied. The Book of the Plenary Al-Quran clearly mentions that humans are creatures who are given the terms of intelligence. Human intelligence explores science and knowledge capable of making social changes and Islamic Law, Law Illat . Social change and Islamic Law, Law Illat are varied, creative and dynamic. The Messenger of Allah came as a bearer of good news (basiron) and a warner (naziron) changing the conditions of the social order of society at that time until finally the people adhered to the rules of Islamic law. Social change and Islamic law continue to blend and cannot be separated from each other. Islamic law, Law Illat is able to adapt according to circumstances, customs, and times. Social changes affect the concept of Islamic Law institutions, Law Illat. The principle of certainty in Islamic law, Illat can be interpreted as having clarity and firmness in the application of law in society as long as it does not conflict with the Qur'an, Hadith, Ijma, and Qiyas.
Keywords: Islamic Law, Law Illat, sosial change
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri. Kitab Al-quran Paripurna jelas menyebutkan manusia mahluk yang diberi term-term kecerdasan. Kecerdasan manusia menggali ilmu dan pengetahuan mampu membuat perubahan sosial dan Hukum Islam, Illat Hukum. Perubahan sosial dan Hukum Islam, Illat Hukum bersifat variatif, kreatif dan dinamis. Rasulullah datang sebagai pembawa kabar gembira (basiron) dan pemberi peringatan (naziron) merubah kondisi tatanan sosial masyarakat pada waktu itu hingga akhirnya masyarakat berpegang pada kaidah-kaidah Hukum Islam. Perubahan sosial dan Hukum Islam terus menyatu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hukum Islam, Illat Hukum mampu beradaptasi sesuai keadaan, adat istiadat, dan masa. Perubahan sosial memengaruhi konsep pranata Hukum Islam, Illat Hukum. Asas Kepastian Hukum Islam, Illat dapat dimaknai ada kejelasan dan ketegasan berlakunya hukum dimasyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-quran, Hadis, Ijma, dan Qiyas.
Keywords: Hukum Islam, Illat Hukum, perubahan sosial
- PENDAHULUAN
Dalam sejarah panjang kehidupan manusia selalu ada peristiwa yang mengarah pada suatu perubahan dan perkembangan. Dimana keadaan sekarang tidak sama dengan keadaan masa lampau. Konsekuensi kehidupan harus hidup dalam bingkai sosial. Tiap-tiap individu merasakan kondisi berbeda dalam masa yang berbeda. Keseimbangan sosial merupakan hal yang dicita-citakan oleh setiap masyarakat. Dengan keseimbangan didalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu hal di mana lembaga-lembaga masya’rakat yang berfungsi dalam masyarakat dan saling berinteraksi. Keadaan demikian membuat masyarakat aman dan tenteram, oleh sebab tidak adanya pertentangan pada aturan yang berlaku. Setiap kali ada gangguan terhadap keseimbangan tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya, atau merubahnya lembaga-lembaga masyarakat yang ada dengan tujuan untuk menerima hal baru, namun terkadang masyarakat tidak mampu untuk menolaknya, karena hal yang baru dipaksakan masuknya oleh suatu kekuatan. Apabila hal yang baru itu masuknya tidak menimbulkan goncangan, maka pengaruhnya tetap ada, tetapi sifatnya dangkal dan hanya terbatas pada bentuk luarnya, kaidah-kaidah dan nilai masyarakat tidak akan terpengaruh olehnya. [1]
Adakalanya hal-hal baru dan lama bertentangan secara bersamaan mempengaruhi aturan, kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula terhadap anggota masyarakat. Hal ini menjadi gangguan yang berkelanjutan terhadap keseimbangan masyarakat. Hal tersebut berketegangan dan kekecewaan di antara para warga masyarakat tidak memiliki saluran yang menuju ke arah suatu solusi. Apabila ketidakseimbangan tadi dapat dipulihkan kembali melalui suatu perubahan, maka keadaaan tersebut dinamakan penyesuaian, tetapi apabila terjadi keadaaan sebaliknya, maka terjadi sesuatu tidak sesuai.[2]
Dalam lintasan sejarah Hukum Islam adalah kekuatan yang dinamis dan kreatif. Rasululloh menjadi tempat bertanya para sahabat sekaligus menjadi referensi para sahabat dalam menghadapi kondisi realitas ummat pada waktu itu. Dalam perkembangan zaman, Hukum Islam yang dianggap suci tidak akan mengalami perubahan dan tantangan sosial karena perubahan merupakan suatu keniscayaan. Hukum Islam jelas bersumber dari Al-quran dan Hadis adalah kumpulan peraturan yang berasal dari Allah yang menjadi sumber segala Hukum dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia keduanya tak bisa dipisahkan yang mampu menjangkau segala aspek kehidupan. Sementara perubahan sosial akan terus berkembang menuntut kepastian hukum, pun demikian permasalahan hukum setiap masa berbeda. Permasalahan hukum sebagai sosial masyarakat maupun individu dibutukan kepastian hukum ditengah kompleksnya problem sosial. Hukum Islam mengakomodir semua permasalahan ummat. Sebagai contoh pada aspek keluarga misalnya bayi tabung. Dalam Al-quran tidak ada ulasan secara sfesifik yang larangan bayi tabung begitu juga selama sperma dan sel telur berasal dari ikatan perkawinan yang syah. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan: “anak yang syah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai perkawinan yang syah” [3]
Dengan ketentuan ini, maka anak yang dilahirkan melaului proses bayi tabung dengan mengambil sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri yang kemudian embrionya disarangkan kedalam rahim isterinya adalah anak yang sah yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan anak yang lahir normal. Contoh kasus diatas diperkuat dengan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang Inseminasi Buat-an/Bayi Tabung, tertanggal 26 November 1990 menyebutkan bahwa: inseminasi buatan/bayi tabung dengan sperma dan ovum diambil dari pasangan suami-isteri yang sah secara muhtaram, dibenarkan oleh hukukm oleh islam, selama mereka dalam ikatan perkawinan yang sah[4].
Hukum Islam realitasnya terus berkembang sesuai perkembangan zaman waktu dan tempat. Tuntutan masyarakat maka juga tidak bisa lepas dari peran ‘Illat sebagai dasar untuk pensyari’atan hukum. Secara terminologi, illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan illat karena adanya penyakit tersebut, manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila I’tala Fulan, makahal itu berarti keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit.[5]Imam Al-Ghazali mendefinisakan illat yaitu sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya,melainkan atas perbuatan Syar’i.[6] Secara bahasa illat berarti sakit, penyakit, sebab dan alasan,[7]
Illat merupakan sebuah sifat dasar yang dikarenakan atas keberadaan sifat dasar tersebut dapat diketahui adanya sebuah ketentuan hukum, seperti memabukkan menjadi sifat dasar pelanggaran khamer, munculnya rasa permusuhan menjadi sifat dasar terhadap pelarangan penjualan barang yang sudah ditawar oleh orang lain dan serta terhadap pelarangan memberikan manfaat layanan jasa kepada orang lain dikarenakan pada saat yang sama ada orang lain yang sudah berakad untuk memanfaatkannya terlebih dahulu.[8] Illat itu dianggap sah apabila memenuhi kriteria yang disebut dengan syarat-syarat illat. Dikalangan ulama Ushul tidak terdapat suatu kesepakatan utuh mengenai syarat-syarat yang menjadi landasan dan acuan. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak.
Dinamisasi sebagai karakteristik hukum islam mengindikasikan kemampuan hukum dalam mengakomodir, merespon dan menjawab setiap permasalahan baru yang tidak terdapat hukummya dalam Al-quran dan Sunnah sebagai konsekuensi dari perubahan sosial yang tak mungkin dielakkan.[9]Tulisan ini mengkaji perihal sejauh mana Hukum Islam, illat mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, dengan judul” Perubahan sosial dan Hukum Islam, Illat Hukum.
PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial bukan hal yang tiba-tiba terjadi ditengah masyarakat, akan tetapi sesuatu yang melalui proses. Proses ini sangat erat kaitanya dengan individu atau kelompok masyarakat. Perubahan sosial terjadi juga karena manusia memiliki kecerdasan manusia, pada strata sosial tertentu manusia mengingikan hal-hal baru dalam rangka pengembangan apa yang manusia ketahui yang bersifat struktur, massive dan sistematis. Perubahan sosial dimasyarakat dlihat dengan cara membandingkan keadaaan masyarakat pada waktu tertentu dengan keadaan masa lalu.
Menurut Islam manusia adalah bagian dari alam semesta yang tersusun dan terorganisir dalam satu kesatuan sistem dan struktur. Jika alam senantiasa berubah, begitu juga dengan manusia. Semua mengalir, bergerak pada garis edarnya, wakullun fi falakin yasbahuun. Heraklius(540-480 sm) mengatakan ketika kita mandi disebuah sungai untuk kedua kalinya, sungai telah berbeda.[10]
Perubahan itu bagian dari sifat alamiah yang terjadi dengan takdir Allah. Allah SWT berfirman: Yas aluhuu man fissamawati wal ard, kulla yaumin huwa fi sa’an artinya: semua yang ada di langit dan di bumi senantiasa meminta kepadaNya setiap waktu dalam kesibukan. Ketika Rasul SAW membaca ayat ini, sahabat bertanya “ya Rasulallah, apa yang dimaksud dengan Sya’n dalam ayat ini? Ia menjawab, Ia mengampuni dosa dan melepaskan kesulitan, dan mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkan kaum yang lainya.[11]Ampunan adalah hasil perubahan dari maksiat jadi taat, begitu juga kemudahan dan kemuliaan adalah hasil perubahan. Di belakang yang berubah itu ada wujud tunggal yang tidak berubah, Dia-lah asal segala sesuatu kekal, senantiasa mengatur segala perubahan.[12]
Perubahan sosial bisa pula terjadi dengan sebab dari luara masyarakat tersebut, misalnya yang berasal dari pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Adanya perubahan dari masyarakat modren karena terpengaruh kebudayaan modren. Mayarakat tradisional adalah masyarakat yang masih kental dengan tradisi setempat yang dianut oleh merekan secara turun temurun. Masyarakat tradisional diidentikkan dengan masyarakat pedesaan,meskipun tidak semua masyarakat desa bersifat tradisional. Pada masyarakat tradisional seseorang tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Mereka berhubungan dengan secara langsung dan terbuka. Individu dan mayarakat terikat akrab dengan alam semesta. Pada mayarakat tradisional pada umumnya sosial budaya dikuasai oleh tradisi dan kepercayaan bukan dikuasai oleh hukum dan perundang-undangan.[13]
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesat, maka penemuan baru baik dalam berbagai bidang, dan lain-lain kejadian di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusat terjadinya peristiwa tersebut, maka masyarakat tradisional sosial masyarakat secara bertahap berubah kepada masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang mengedepankan rasionalitas dan lebih terbuka akan hal-hal baru. Modernis dalam struktur. Struktur sosial modern adalah jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat modren, dari padanya berkembang pranata sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Dalam tata kerjanya menggunakan prinsip rasionalitas, analitik, kausal empiris, obyektif. Mayarakat moder ditandai oleh pertumbuhan pengetahuan.[14]
Tingkat perubahan sosial adalah suatu kecepatan yang dengannya berbagi unsur struktur budaya dan sosial muncul, lenyap atau diganti oleh unsur-unsur lain. Diantaranya kecepatan obyektif atau absolut dapat dinyatakan dengan sejumlah inovasi-inovasi tekhnologis atau sosial yang dilaksanakan selama beberapa periode, dengan panjangnya waktu permulaan yang diperlukan bagi penyebaran inovasi-inovasi tersebut, atau dengan frekuensi dari reformasi-reformasi kelembagaan yang dilaksanakan masyarakat tertentu. Yang kedua harus digolongkan sebagai tingkat perubahan subyektif atau relatif. Tingkat ini tidak cocok untuk diukur secara kuantitatif tetapi dapat direfleksikan dalam persepsi oleh aktor sosial mengenai apa yang dilihatnya sebagai perubahan yang tampak dalam dunia sosialnya.[15]
Apabila kondisi sosial masyarakat klasik, yaitu kehidupan yang penuh kesederhanaan. Baik dalam struktur sosial, organisasi sosial, dan hubungan sosial. Maka kondisi itu berbeda dengan kondisi sosial masyarakat kontemporer, yaitu kehidupan yang modern, baik dalam struktur, organisasi sosial, dan hubunga sosial yang modern. Masa kontemporer yang ditandai dengan mengglobalnya dunia, meleburnya batas wilayah, tidak ada lagi batasan antara budaya timur dan barat, gaya hidup tidak lagi menjadi monopoli kelas tertentu, tetapi sudah menjadi lintas kelas,sehingga kelas masyarakat atas, menengah, kelas masyarakat bawah yang dulu tampak jelas sudah tidak lagi terlihat jelas, karena sudah melebur dalam percampuran. [16]
Perubahan sosial bisa juga sebab dengan sebab berasal dari luar masyrakat tersebut karena terjadinya peperangan. Terjadinya peperangan dalam suatu wilayah menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk, sebagimana yang terjadi di beberapa negara sekarang, atau terjadinya perpindahan dari satu wilayah kepada wilayah yang lain sehingga jumlah penduduk menjadi bertambah, akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Dan atau sebab lingkungan alam seperti bencana alam. Perubahan sosial terjadidalam kehidupan masyarakat ada perubahan yang tidak direncanakan dan perubahan yang direncanakan. Adapun perubahan yang tidak direncanakan adalah perubahan yang berlangsung diluar pengawasan masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki ini biasanya lebih banyak menimbulkan pertentangan yang merugikan kehidupan masyarakat yang bersangkutan.[17]
Sedangakan perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu sebelumnya oleh pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of chance, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagi pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.[18]
HUKUM ISLAM
Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam al-Quran adalah kata syarî’ah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam merupakan terjemahan dari islamic law dalam literatur Barat. [19] Istilah ini kemudian menjadi populer. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang makna hukum Islam maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing kata. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu َhakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi ُhukman. Lafadz al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak اَal-ahkâm. Berdasarkan akar kata hakama tersebut kemudian muncul kata al-hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai orang yang bijaksana.[20] Selanjutnya islâm adalah bentuk mashdar dari akar kata aslama-yuslimu-islâman dengan mengikuti wazn af’ala-yuf’ilu-if’âlan yang mengandung arti ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga bermakna Islam, damai, dan selamat. Namun kalimat asal dari lafadz islâm adalah berasal dari kata salima-yaslamu-salâman-wa salâmatan yang memiliki arti selamat (dari bahaya), dan bebas (dari cacat).[21] Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di Indonesia ia menyebutkan bahwa hakama bimaghna qodho walfashol Hukum bermakna memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan.[22]
Unsur khas hukum Islam adalah kekuatan mengikatnya terhadap semua orang, termasuk penguasa (siapapun pihak yang menjadi Penguasa). Tidak ada konsep kedaulatan, selain dari otoritas tertinggi dan akhir milik Tuhan. Ide bahwa hukum dapat dibuat dan dibatalkan sesuai kehendak penguasa, sebuah konsep yang berasal dari Hobbes dan yang juga telah membawa pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap beberapa aspek pemikiran Barat, adalah sesuaatu yang asing bagi Islam.[23]
Manusia tidak dapat membuat hukum yang mengikat secara universal. Karena itu Allah Swt. memberikan petunjuk agar manusia membuat aturan yang adil berdasarkan kemanusiaan, inilah yang tak akan berubah sampai kapanpun. Untuk aturannya hukum senantiasa berubah, hukum itu sendiri alat untuk merubah. Yang tidak bisa berubah secara sukarela akan berubah dengan dipaksa hukum. Kaedah mengatakan “tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.[24] Ibn Khaldun mengatakan keanekaragaman keadaan fisik, watak, mental, dan perilaku manusia itu dipengaruhi oleh faktor geografis.[25]
Hukum Islam terkait erat dengan sosiologis masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari perjalanan sejarahnya. Seperti instruksi Rasulullah SAW kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Tetapi dalam melakukan ijtihad, para sahabat tidak mengalami problem metodologis apapun, karena apabila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum mereka dapat langsung menanyakannya kepada Nabi. Namun setelah Rasulullah wafat, masalahmasalah baru mulai bermunculan. Ragam kasus yang muncul pada periode kepemimpinan khalifah mulai berkembang seperti hukum keluarga, hukum transaksi dan juga hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti hak-hak dasar manusia, hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara.[26]
ILLAT HUKUM
Illat dalam bahasa arab berarti penyakit.[27]Disebut demikian karena ia dapat merubah kondisi sesuatu dari keadaan asalnya,misalnya dari keadaan kuat menjadi lemah. [28]Di dalam bahasa arab, kata illat sepadan dengan kata sebab. Dalam istilah ushul fikih, kata illat berarti sifat yang menandakan suatu hukum bukan dengannya, atau sifat yang jelas tetap dan mendapatkan keterangan dari dalil sebagai kaitan suatu hukum.[29] Menurut Alyasa Abubakar, teori ini didasarkan atas asumsi bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan Allah untuk mengatur prilaku manusia memiliki alasan logis (nilai hukum) dan hikmah yang hendak dicapai.[30]
Dikalangan ulama Ushul Fiqh, ‘illat itu diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum.[31] Syarat-syarat illat Untuk illat hukum dapat berlaku dapat diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya yaitu:[32]
a. Illat suatu hukum haruslah jelas dan tidak samar-samar, seperti misalnya sifat memabukkan pada pengharaman arak, sifat tersebut adalah nyata sehingga segala minuman yang memabukkan dikategorikan sebagai arak.
b. Illat suatu hukum haruslah tetap, yaitu tidak berubah oleh kondisi pelaku, waktu atau tempat.
c. Illat suatu hukum tidak berlaku terbatas pada tempat hukum itu sendiri.
d. Illat suatu hukum haruslah pasti, baik ditunjukkan oleh dali secara qath’i ataupun zhanni.
e. Illat suatu hukum haruslah bersifat konstan, yaitu menunjukkan keberadaan hukum yang dikandungnya di saat ia juga berada.
Tidak semua hukum syar’i memiliki illat dalam penetapannya, demikian pula tidak semua hukum syar’i yang memiliki illat dapat diketahui secara mudah dan langsung, sehingga dibutuhkan metode yang tepat untuk menetapkan illat suatu hukum syar’i. Para ulama Ushul Fiqh menjelaskan metode-metode penetapan illat hukum, yaitu:
a. Penetapan secara nash atau tekstual, Jadi apabila nash dalam al-Qur’an dan sunnah telah menunjukkan bahwa illat hukum adalah sifat ini (misalnya) maka sifat itu adalah illat berdasarkan nash dan disebut illat menunjukkan bahwa sifat itu sebagai illat terkandung yang telah di nash. Dan qiyas atas dasar itu, pada hakikatnya adalah menerapkan nash. Nash yang menunjukkan bahwa sifat itu sebagai illat terkandung secara isyarat dan tidak jelas. Jadi secara jelas yaitu adalah lafal nash kepada keillatan menurut susunan bahasa. seperti yang terdapat dalam nash illat begini, atau sebab begini, atau karena begini. Apabila lafal yang menunujukkan atas keillatan dalam nash itu tidak mencakup selain yang jelas dan pasti. Seperti firman Allah dalam memberi illat, seperti Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab/33:37 yang artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya…” (QS. 33:37)
Setelah mengakhiri perceraiannya dengan istrinya berarti setelah habis idahnya. Sementara itu, orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat Ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya. Hadis Rasulullah saw. Tentang larangan menyimpan daging kurban: ْ “Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban untuk kepentingan para tamu dari perkampungan badui yang dating ke madinah yang membutuhkan daging kurban, sekarang simpanlah daging itu “(HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’I, Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah) Hadis tersebut menjelaskan bahwa illat dari adanya larangan penyimpangan daging kurban adalah karena banyak orang-orang Islam dari pedusunan dating membutuhkannya. Namun beberapa waktu kemudian, setelah illatnya tidak ada lagi yaitu orang-orang pedusunan maka Rasulullah membolehkan menyimpang dan memakannya.
b. Ijma’
Yang menjadi illat perwalian terhadap anak kecil dalam masalah harta adalah karena masih kecil. Dalam masalah melakukan hal ini sebagai jalan Illat terdapat pembicaraan, karena para penolak qiyas tidak melakukan qiyas dan tidak pula melakukan pemberian illat, bagaimana dapat terbentuk ijma’ tanpa mereka. Demikian menjadi illat terhadap hukum perwalian anak yatim atau pelanggaran terhadap harta benda menjadi illat kewajiban menggantinya sebagaimana yang disepakati oleh para ulama secara ijma’.[33]
c. Al-Imah atau isyarat dalil. Seperti contoh-contoh berikut ini.
1) Firman Allah swt. Dalam QS. Al-Maidah/5:38 Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Penyebutan huruf fa’ sebelum sebelum hukum yang dikaitkan dengan suatu perbuatan memberi isyarat bahwa illat dari hukum tersebut adalah perbuatan itu sendiri[34].
2) Firman Allah swt. Dalam QS. Al-Thalaq/65: 2-3 4 “….barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan kel…” Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya….”
3) Hadis Rasulullah saw..
“Janganlah seseorang hakim memutuskan perkara antara dua orang dalam keadaan marah” Penyebutan sifat marah yang menunjukkan kesesuaian dengan larangan memutuskan perkara menandakan kedudukannya sebagai illat hukum.
- Al-Munasabah
Kata al-Munasabah berarti kesesuaian.[35] Yang dimaksud dengan metode ini adalah penetapan illat hukum berdasar pada kesesuaiannya dengan akal pikiran sejauh terbebas dari penghalang. Menurut Imam al-Zarkasyi metode-metode al-Munasabah dalam penetapan illat termasuk metode aqliyah dan merupakan inti dalam pembahasan tentang qiyas bahkan menjadi pusat kejelasan dan kegelapaannya.[36]
- Al- Dawran
Secara bahasa al-Dawran adalah berarti perputaran. Yang dimaksud dengan metode al-Dawran dalam penetapan illat hukum adalah penunujukan illat berdasarkan pada perputaran hukum dengan sifat yang dikandungnya bahkan menjadi sebabnya. Sifat yang selalu ada secara pasti bersama dengan suatu hukum syar’I sehingga jika ia tidak ada maka hukum pun tidak berlaku. Menurut Jumhur ulama ushul fiqh, kepastian illat hukum yang ditetapkan menurut metode ini adalah bersifat zhanni, sedangkan menurut sebagian kelompok sebagian Mu’tazilah, kepastiannya adalah bersifat qath’i atau pasti.[37]
- Al-Sabru Wa al Taqsin
Al-Sabru dalam bahasa arab berarti pengujian, sedangkan al Taqsin berarti pembagian.Pengujian seluruh sifat yang ada dapat memakai metode mulazamah ‘aqliyah, yaitu pemustahilan akal pikiran terhadap sesuatu yang bertentangan dengan perkara yang seharusnya,
Dengan demikian perubahan hukum perlu dilaksanakan, karena hasil ijtihad selalu bersifat relatif dan dinamis, sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru , asalkan tidak berbandaing terbalik dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Sunnah.
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari akidah, syari’ah dan akhlak. Hukum Islam membentuk manusia yang berakhlak luhur, yang menjadi dasar kemuliaan manusia. Sebab, manusia itu dilahirkan Allah dalam bentuk mulia dan diberi derajat mulia. Memegang teguh hukum Islam, dapat memberikan kemuliaan kepada manusia karena dalam hukum Islam tersebut memiliki daya yang dapat membentuk manusia menjadi makhluk yang sempurna, atau insan kamil. Hukum Islam dalam realisasinya ada yang termasuk kategori syariah yang bersifat tetap, jelas, tegas, dan kebenarannya pasti (qath`i), dan berlaku umum; dan ada yang termasuk kategori fikih yang bisa menerima perubahan, mengandung penafsiran dan kebenarannya merupakan dugaan kuat mujtahid (zhanni), serta berlaku kebanyakan. Untuk hukum Islam kategori fikih inilah yang sangat dinamis dan responsif terhadap dinamika masyarakat dan perubahan zaman, sehingga hukum Islam di sini bisa mampu mengakomodir semua permasalahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul Fiqh, Kairo: Maktabah Dakwah Islamiyyah Syabab Al-Azhar, 1942
Abdulsyani, Sosiologi skematika, Teori, dan terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Abu Muhammad al-ghazali. Al-Mankhul min Ta’liqat Al- ushul Tahqiq Hamad Hasan Hito.Beirut:Dar-Alfikr, 1980
Ahmad amin, al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1975)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Al-Ghazali, al-Mustasfa, (Mesir, Makatabah al-Jundiyah, 1971)
Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, juz 3,
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Da-rul Kutub al-Ilmiah, 1416 H),
Al-Thabari, Tafsir, Juz XI,
Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia,
Amir Muallim, Ijtihad Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi, 18
Dan Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahrul Muhit} fi Ushul al-Fiqh, jilid V al-Zarkasyi, h. 132- 142, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul, Editor Dr. Hamzah Zubair Hafiz}, jilid 3 (Medina: Islamic University, t.th), h. 703-705.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 17
Ibn Rushd, Bidayat Al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid (Indonesia: Dar Al-Kutub al-arabiah,n,d)2.
Iyad} bin Nami al-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi LaYasa’ul Faqih Jahluhu (Cet. 2; Riyad:Dar al-Tadmuriyah, 2006),
Iyadh bin Nami al-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi La Yasa’ul Faqih Jahluhu, h. 154-156.
Iyadh bin Namial-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi La Yasa’ul Faqih Jahluhu, h. 161.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidayah Agung Jakarta: 1990
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
Muhammad Amin al-Hasân al-Majdadî al-Barkatî, Qawâ’id al-Fiqh, (Karaci: Al-Shadaf, 1407 /1986),
Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahrul Muhit fi Ushul al-Fiqh, jilid V, h. 206
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz abadi, al-Qamus al-Muhij, jilid 3 (Cet. I; Beirut: Da-rul Kutub al-Ilmiah, 1995),
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz abadi, al-Qamus al-Muhit, jilid 1,
Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwini, Sunan Ibni Majah, jilid 3 (Cet. I; Beirut:
Darul Ma’arif, 1416 H), h. 93.
Muhammad Syarif Ahmad, Tajdid Al-Mauqif al-islami fi al-fiqh wa al-fikr wa al-siyasah,(Damaskus: Dar al-Fikr, 2004)
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 36.
Norman Barry, “Masyarakat Sipil, Agama dan Islam”, dalam Islam, Masyarakat Sipil dan ekonomi Pasar, Husni Thamrin (ed.), 38
Pasaribu LL dan B. Simandjuntak, Sosiologi Pembangunan(Bandung: Warsito, 1986),
Sya’ban Muhammad Ismail. Ttg.Dirasat Haul Al-ijma’ Walqiyas. Kairo: Maktabah Al-Syahksiyyah al-Misriyah,. Wahbah al Zuhayli.1996. Ushul Alfiqh al-islamy, Juz 1 Damaskus: Dar al-Fikr,
Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
Zdenek Suda, Tingkat perubahan sosial dan Modernisasi, dalam buku Sosiologi Modernisasi:Telaah Kritis tentang Teori, Riset dan Realitas, terj. Hartono Hadikusumo, cet.ke-1(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989)
Sumber lain:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-952/MUI/XI/1990
[1] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 36.
[2] Ibid
[3] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 42
[4] Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-952/MUI/XI/1990
[5] Abu Muhammad al-ghazali. 1980. Al-Mankhul min Ta’liqat Al- ushul Tahqiq Hamad Hasan Hito.Beirut:Dar-Alfikr hal. 96
[6] Sya’ban Muhammad Ismail. Ttg.Dirasat Haul Al-ijma’ Walqiyas. Kairo: Maktabah Al-Syahksiyyah al-Misriyah, hal 63. Wahbah al Zuhayli.1996. Ushul Alfiqh al-islamy, Juz 1 Damaskus: Dar al-Fikr,hal 646
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidayah Agung Jakarta:1990), hal. 253
[8] Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul Al Fiqh (Kairo: Maktabah Dakwah Islamiyyah Syabab Al-Azhar),hal.63
[9] Ibn Rushd, Bidayat Al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid (Indonesia: Dar Al-Kutub al-arabiah,n,d)2.
[10] Ahmad amin, al-Akhlaq, (Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1975) hal 92
[11] Al-Thabari, Tafsir, Juz XI, h. 591
[12] Muhammad Syarif Ahmad, Tajdid Al-Mauqif al-islami fi al-fiqh wa al-fikr wa al-siyasah,(Damaskus: Dar al-Fikr, 2004)
[13] Pasaribu LL dan B. Simandjuntak, Sosiologi Pembangunan(Bandung: Warsito, 1986), hal 220
[14] Ibid.,137
[15] Zdenek Suda, Tingkat perubahan sosial dan Modernisasi, dalam buku Sosiologi Modernisasi:Telaah Kritis tentang Teori, Riset dan Realitas, terj. Hartono Hadikusumo, cet.ke-1(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), hal 200
[16] Supriyadi, n.d.,http://berbagiilmublog.blogspot.co.id/2014/01/sejara-sosial-hukum-islam-kontemporer.html.
[17] Abdulsyani, Sosiologi skematika, Teori, dan terapan, 170.
[18] Ibid
[19] Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 14.
[20] Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam..., hlm. 7
[21] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 654.
[22] Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 1.
[23] Norman Barry, “Masyarakat Sipil, Agama dan Islam”, dalam Islam, Masyarakat Sipil dan ekonomi Pasar, Husni Thamrin (ed.), 38
[24] Muhammad Amin al-Hasân al-Majdadî al-Barkatî, Qawâ’id al-Fiqh, (Karaci: Al-Shadaf, 1407 /1986), h. 113
[25] Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 17.
[26] Amir Muallim, Ijtihad Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi, 18
[27] Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz abadi, al-Qamus al-Muhij, jilid 3 (Cet. I; Beirut: Da-rul Kutub al-Ilmiah, 1995), h. 578.
[28] Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Da-rul Kutub al-Ilmiah, 1416 H), h. 154.
[29] Iyad} bin Nami al-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi LaYasa’ul Faqih Jahluhu (Cet. 2; Riyad:
Dar al-Tadmuriyah, 2006), h. 146.
[30] Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia, hlm. 179
[31] Al-Ghazali, al-Mustasfa, (Mesir, Makatabah al-Jundiyah, 1971), hlm. 395
[32] Iyadh bin Nami al-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi La Yasa’ul Faqih Jahluhu, h. 154-156. Dan Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahrul Muhit} fi Ushul al-Fiqh, jilid V al-Zarkasyi, h. 132- 142, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul, Editor Dr. Hamzah Zubair Hafiz}, jilid 3 (Medina: Islamic University, t.th), h. 703-705.
[33] Iyadh bin Namial-Sulmi, Ushul al-Fiqh al-Ladzi La Yasa’ul Faqih Jahluhu, h. 161.
[34] Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwini, Sunan Ibni Majah, jilid 3 (Cet. I; Beirut:
Darul Ma’arif, 1416 H), h. 93.
[35] Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz abadi, al-Qamus al-Muhit, jilid 1, h. 176
[36] Muhammad bin Bahadir al-Zarkasyi, al-Bahrul Muhit fi Ushul al-Fiqh, jilid V, h. 206
[37] Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, juz 3, h. 299.